Kamis, 26 April 2012

Manusia & Keadilan

KEADILAN PRITA MULYASARI RUNTUH

Jakarta – Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming mengaku geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan putusan bebas murni Prita Mulyasari. Menurutnya, julukan ‘Benteng Terakhir Keadilan’ yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh.

"Saya sebagaimana para pencari keadilan lainnya merasa geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung tersebut yang justru menodai komitmen penegakan hukum atas dasar keadilan. Dengan putusan seperti itu, maka julukan ‘Benteng Terakhir Keadilan’ yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh dan porak poranda," kata Saharuddin dalam rilisnya kepada detikcom, Minggu (10/7/2011).

Runtuhnya julukan MA tersebut, lanjut Saharuddin, disebabkan oleh fungsionaris MA sendiri yang cenderung menerapkan hukum dan keadilan seperti pisau tajam ke bawah dan ke depan tetapi tumpul ke samping, ke belakang dan ke atas. Menurutnya, di tengah-tengah miskinnya produk yudikatif yang merefleksikan ‘Juctice Value and Sense of Law’, MA sebagai puncak peradilan di Indonesia kembali mengoyak perasaan keadilan masyarakat. Hal itu didasarkan atas putusan MA yang menjatuhkan pidana pada Prita sebagai pelaku pencemaran nama baik RS Omni International.

"Meski berbagai pihak termasuk Komnas HAM telah memberi rekomendasi bahwa apa yang dilakukan Prita terhadap RS Omni adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM jo UU No 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil. Putusan MA tersebut sudah jelas-jelas melanggar HAM dan menjungkirbalikkan hukum dan keadilan," ujarnya.

Komnas HAM bertekad akan melaporkan kasus tersebut ke Special Reporteur PBB Frank LA, yang rencananya akan datang ke Indonesia. Saharuddin juga mendorong Komisi Yudisial dan Yudicial Watch, agar mengusut tuntas oknum hakim agung yang memutus perkara ini.

"Bahkan jika perlu, DPR menggunakan hak inisiatif membuat UU anti kesewenang-wenangan peradilan, kalau ada gerakan untuk boikot pengadilan dan MA, saya pun mendukung. Demi membersihkan benteng keadilan dari mafia pengadilan," tutup Saharuddin.

Sumber :
http://www.detiknews.com/read/2011/0…eadilan-runtuh

Prita Mulyasari, terdakwa perkara pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni, mengaku kaget dan bingung dengan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum atas perkara pidananya. ”Saya bingung, kapan mengajukan kasasinya, kok tiba-tiba dikabulkan oleh MA,”
Prita Mulyasari, putusan MA bak petir disiang bolong, mengejutkan

Prita tidak menyangka jika kasus yang telah mendapat vonis bebas di Pengadilan Negeri Tangerang pada Desember 2009 lalu justru menghasilkan putusan berbeda di tingkat kasasi Mahkamah Agung. “Kan kasusnya sudah dua tahun lalu. Tapi tiba-tiba putusan begitu sekarang. Malah bertolak belakang,” ungkap Prita yang mengaku dalam perjalanan pulang dari kantornya di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (8/7/2011).

“Orang-orang juga mungkin sudah lupa dengan kasus saya,” tambahnya. Prita mengatakan dirinya mendapat informasi tentang putusan kasasi MA terkait kasus yang sempat membuatnya mendekam di balik jeruji sel itu dari Slamet Yuwono, salah seorang pengacaranya. Berita itu pun bak petir di siang bolong. “Saya kaget,” kata Prita menyinggung perasaannya ketika mendengar putusan kasasi MA.
“Enggak tahu lah. Campur-campur rasanya,” tegas ibu tiga anak itu menggambarkan isi hatinya.

Prita sendiri tidak tahu persis alasan MA mengeluarkan putusan yang bertolak belakang dengan putusan di pengadilan tingkat pertama. Dia beranggapan, proses pengadilan pertama cukup menggambarkan status dirinya yang tidak bersalah karena memposting kritik atas pelayanan RS Omni Internasional. Status itu, lanjut Prita, diperkuat saksi dan ahli yang hadir di persidangan. “Saya tidak tahu kenapa MA bisa mengeluarkan putusan seperti itu. Apalagi kalau di MA, kalau tidak salah sidangnya tertutup,” imbuhnya. (Sumber)

Sumber: 
http://ruanghati.com/2011/07/09/prit…putusan-bebas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 26 April 2012

Manusia & Keadilan

KEADILAN PRITA MULYASARI RUNTUH

Jakarta – Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming mengaku geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan putusan bebas murni Prita Mulyasari. Menurutnya, julukan ‘Benteng Terakhir Keadilan’ yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh.

"Saya sebagaimana para pencari keadilan lainnya merasa geram dan muak atas putusan Mahkamah Agung tersebut yang justru menodai komitmen penegakan hukum atas dasar keadilan. Dengan putusan seperti itu, maka julukan ‘Benteng Terakhir Keadilan’ yang selama ini melekat pada MA sudah runtuh dan porak poranda," kata Saharuddin dalam rilisnya kepada detikcom, Minggu (10/7/2011).

Runtuhnya julukan MA tersebut, lanjut Saharuddin, disebabkan oleh fungsionaris MA sendiri yang cenderung menerapkan hukum dan keadilan seperti pisau tajam ke bawah dan ke depan tetapi tumpul ke samping, ke belakang dan ke atas. Menurutnya, di tengah-tengah miskinnya produk yudikatif yang merefleksikan ‘Juctice Value and Sense of Law’, MA sebagai puncak peradilan di Indonesia kembali mengoyak perasaan keadilan masyarakat. Hal itu didasarkan atas putusan MA yang menjatuhkan pidana pada Prita sebagai pelaku pencemaran nama baik RS Omni International.

"Meski berbagai pihak termasuk Komnas HAM telah memberi rekomendasi bahwa apa yang dilakukan Prita terhadap RS Omni adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM jo UU No 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil. Putusan MA tersebut sudah jelas-jelas melanggar HAM dan menjungkirbalikkan hukum dan keadilan," ujarnya.

Komnas HAM bertekad akan melaporkan kasus tersebut ke Special Reporteur PBB Frank LA, yang rencananya akan datang ke Indonesia. Saharuddin juga mendorong Komisi Yudisial dan Yudicial Watch, agar mengusut tuntas oknum hakim agung yang memutus perkara ini.

"Bahkan jika perlu, DPR menggunakan hak inisiatif membuat UU anti kesewenang-wenangan peradilan, kalau ada gerakan untuk boikot pengadilan dan MA, saya pun mendukung. Demi membersihkan benteng keadilan dari mafia pengadilan," tutup Saharuddin.

Sumber :
http://www.detiknews.com/read/2011/0…eadilan-runtuh

Prita Mulyasari, terdakwa perkara pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni, mengaku kaget dan bingung dengan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum atas perkara pidananya. ”Saya bingung, kapan mengajukan kasasinya, kok tiba-tiba dikabulkan oleh MA,”
Prita Mulyasari, putusan MA bak petir disiang bolong, mengejutkan

Prita tidak menyangka jika kasus yang telah mendapat vonis bebas di Pengadilan Negeri Tangerang pada Desember 2009 lalu justru menghasilkan putusan berbeda di tingkat kasasi Mahkamah Agung. “Kan kasusnya sudah dua tahun lalu. Tapi tiba-tiba putusan begitu sekarang. Malah bertolak belakang,” ungkap Prita yang mengaku dalam perjalanan pulang dari kantornya di kawasan Jakarta Pusat, Jumat (8/7/2011).

“Orang-orang juga mungkin sudah lupa dengan kasus saya,” tambahnya. Prita mengatakan dirinya mendapat informasi tentang putusan kasasi MA terkait kasus yang sempat membuatnya mendekam di balik jeruji sel itu dari Slamet Yuwono, salah seorang pengacaranya. Berita itu pun bak petir di siang bolong. “Saya kaget,” kata Prita menyinggung perasaannya ketika mendengar putusan kasasi MA.
“Enggak tahu lah. Campur-campur rasanya,” tegas ibu tiga anak itu menggambarkan isi hatinya.

Prita sendiri tidak tahu persis alasan MA mengeluarkan putusan yang bertolak belakang dengan putusan di pengadilan tingkat pertama. Dia beranggapan, proses pengadilan pertama cukup menggambarkan status dirinya yang tidak bersalah karena memposting kritik atas pelayanan RS Omni Internasional. Status itu, lanjut Prita, diperkuat saksi dan ahli yang hadir di persidangan. “Saya tidak tahu kenapa MA bisa mengeluarkan putusan seperti itu. Apalagi kalau di MA, kalau tidak salah sidangnya tertutup,” imbuhnya. (Sumber)

Sumber: 
http://ruanghati.com/2011/07/09/prit…putusan-bebas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar